Jumat, 07 September 2012

Presentase Pemakaian Pil KB

Mitos dan Fakta Seputar Pil KB

 

JAKARTA – Begitu banyak mitos berkembang seputar pil KB (Keluarga Berencana). Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) pun masih diliputi mitos seperti pil KB menyebabkan kegemukan, atau bikin kandungan kering.
Survei Women’s Health di AS menyatakan 61 persen responden yakin pil KB menaikkan berat badan. Faktanya, tidak semua pil KB menyebabkan timbangan badan meningkat. Survei itu membuktikan jumlah yang sama untuk perempuan yang kelebihan berat badan dan yang menurun berat badannya.
Sementara data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menunjukkan ada peningkatan hanya dua kilogram dalam siklus pemakaian pil KB selama 36 bulan (tiga tahun). Kenaikan berat badan itu yang benar-benar ditimbulkan dari pil tersebut, bukan karena makan.
Ada juga mitos kandungan kering, lantaran meminum pil itu menstruasi menjadi lebih sedikit dan lebih pendek. Faktanya, pil KB bekerja sedemikian rupa hingga hormonnya diatur agar siklus seperti itu.
”Itu termasuk mitos yang banyak dihembuskan,” ungkap Wakil Ketua II PKBI, Sarsanto dalam perbincangan mengenai kegemukan dan kandungan kering dengan SH di Jakarta belum lama ini.
Termasuk mitos pil KB sebagai pencetus kanker payudara. Menurut Sarsanto, ternyata perbandingannya sama antara orang yang minum pil kena kanker dan yang tidak minum pil.
Hal yang serupa dilansir oleh National Cancer Institute yang menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan risiko terkena kanker payudara pada perempuan 35-64 tahun yang tengah ataupun pernah menggunakan pil KB. Malah institut itu membuktikan kontrasepsi oral ini dapat mengurangi risiko kanker ovarium. Pendapat yang serupa diungkapkan Sarsanto.

Generasi Ketiga
Dalam satu dekade belakangan telah berkembang pesat pil KB generasi ketiga. Di samping dampak kontrasepsi, pil KB generasi ketiga dipercaya memiliki keunggulan baik terhadap kulit. Efek kosmetik memang menjadi nilai jual tersendiri bagi pil yang semula diperuntukkan untuk mencegah kehamilan ini.
”Dari hasil memang ada yang sampai 100 persen bisa berhasil. Ada juga yang 20-30 persen. Memang ada perbedaan dari beberapa macam pil. Kalau dilihat dari hasil penelitian yang ada, dampaknya karena pil itu bekerja dari dalam, dan dalam waktu 3-4 bulan akan kelihatan. Jerawatnya menghilang, kulitnya tidak berminyak dan rambut-rambut halus menghilang,” papar Sarsanto yang juga Dokter Spesialis Kandungan ini.
Masalah pada pil KB generasi ketiga adalah biaya, lantaran relatif mahal. Tak heran bila pil yang mutakhir ini lebih banyak disediakan untuk kalangan menengah ke atas.

Pil Disukai
Pil merupakan alat KB yang paling populer. Menurut data PKBI, pil KB menduduki peringkat pertama dengan nilai rata-rata 38,74 persen. Sedang data nasional di Indonesia hingga Februari 2003, pil KB menduduki tempat kedua sebanyak 34,57 persen dari 652.562 peserta KB.
”Pil dari dulu orang senang. Hanya satu yang kita tidak suka kalau lupa. Jadi bagaimana caranya mengajar ibu-ibu agar tidak lupa. Angka kegagalannya terus terang paling kecil pil ini, kalau diminum teratur, 0,1 persen. Sebetulnya kalau kita bisa mengajari dan menyediakan pil yang terjangkau, ini bisa menjadi satu anjuran,” cetus Sarsanto.
Selain itu pil unggul untuk menunda kehamilan, imbuhnya. Apalagi kalau belum pernah punya anak.
”Metode yang lain akan mengurangi kesuburan. Seperti suntik, mengurangi kesuburan 6-12 bulan. Kalau pil, haidnya menjadi teratur, begitu lupa satu lupa satu pil (kemungkinan gagal) empat persen. Jadi kalau mau punya anak, tinggal stop, bulan berikutnya sudah subur. Kadang-kadang pil dianjurkan untuk mengobati yang tidak punya anak kalau siklusnya tidak teratur. Jadi salah satu untuk infertility,” jelas Sarsanto.
Pandangan mengenai pemakaian pil berbahaya, tambahnya, adalah (hormon) esterogen yang terdapat dalam pil kombinasi. Menurut dokter Spesialis Kandungan ini, sekarang kandungan esterogen sudah sangat kecil.
”Kalau dulu dibatasi lima tahun, harus diganti. Sekarang dilepas sampai umur 40 tahun. Tapi dianjurkan untuk tidak lebih dari 40 tahun,” saran Sarsanto lagi.
Meski efek sampingnya tidak begitu serius dan jarang ditemukan, namun ada beberapa kondisi perempuan yang dianjurkan tidak menggunakan kontrasepsi oral ini. Badan Kesehatan PBB (WHO) lebih suka menggunakan precautions ketimbang kontra indikasi. WHO membaginya dalam empat kategori.
(SH/mega christina)

Peranan Kesehatan Masyarakat

Pahami Lingkungan Berantas Penyakit Menular


PEMBAGIAN kelambu tidak menjamin penurunan kasus malaria, pengasapan tidak mampu menekan kasus demam berdarah dengue. Buktinya, daerah yang mengalami kejadian luar biasa (KLB) malaria dan demam berdarah dengue makin meluas dengan kekerapan makin tinggi.
kalau penyakit menular diibaratkan musuh, untuk memenangi pertempuran perlu mengenali faktor yang terkait dengan musuh itu.
Menurut Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan (P2M&PL Depkes) Prof Dr dr Umar Fahmi Achmadi MPH yang juga guru besar ilmu kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, ada empat faktor yang berperan dalam dinamika transmisi penyakit menular. Yaitu sumber penyakit, vektor, barrier (penghalang) antara vektor dengan populasi yang berisiko serta kekebalan manusia.
Identifikasi, intervensi dan pengelolaan terhadap keempat faktor plus faktor kelima, yaitu perawatan penderita penyakit menjadi satu kesatuan simpul manajemen bisa meningkatkan upaya pemberantasan penyakit menular.
Hal ini menjadi tantangan bagi para pengelola program kesehatan di daerah (kabupaten/kota) di era desentralisasi.
Sumber penyakit atau penderita penyakit perlu segera ditemukan dan diobati sampai sembuh. Jika ini dilakukan, keberadaan vektor tidak akan berarti, karena tak ada sumber dari virus, bakteri ataupun parasit yang bisa ditularkan.
Namun, hal ini tidak mudah, mengingat mobilitas penduduk sangat tinggi ditunjang perkembangan sarana perhubungan dan transportasi. Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, khususnya dari daerah rawan penyakit menular ke daerah lain, menyebabkan daerah yang telah bebas dari penyakit terkena kembali. Hal itu terjadi pada wilayah Banyumas yang dinyatakan aman dari malaria sejak 15 tahun terakhir, tetapi kini terjangkit kembali.
Hal kedua, vektor dalam hal ini binatang yang menjadi perantara penularan misalnya nyamuk pada kasus malaria dan demam berdarah dengue perlu dicegah perkembangbiakannya.
Sebagaimana diungkapkan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR-RI akhir Februari lalu, aktivitas masyarakat berperan dalam meningkatkan perkembangbiakan nyamuk.
Contohnya, peningkatan kepadatan penduduk mendorong pembukaan hutan dan penghunian kawasan perbukitan seperti Bukit Menoreh di perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Purworejo, dan Magelang, Jawa Tengah. Akibatnya, di kawasan Menoreh banyak genangan air dan sungai kecil yang merupakan tempat perindukan nyamuk penular malaria, Anopheles balabacensis dan A maculatus.
Hal serupa terjadi akibat aktivitas masyarakat dan perusahaan yang kurang peduli lingkungan. Misalnya, genangan air pada bekas galian pasir di Pulau Batam dan Bintan menjadi tempat nyamuk berkembangbiak.
Tambak ikan atau udang yang ditinggalkan pemilik terutama saat krisis moneter seperti terjadi di Lampung, mengakibatkan populasi nyamuk A sundaicus dan A subpictus meningkat. Mereka tumbuh pesat di permukaan air tambak yang ditumbuhi lumut.
Untuk menekan perkembangbiakan nyamuk, seyogianya bekas galian ditimbun, tambak telantar ditanami ikan nila yang makan jentik nyamuk.
Menurut Umar, dalam perkembangan penyakit menular, ada beberapa variabel berpengaruh. Antara lain iklim, faktor politik, dan kondisi sosial ekonomi.
Faktor iklim, seperti musim penghujan, kemarau, La Nina, El Nino, dan sebagainya mempengaruhi pola penyakit.
“Air hujan meningkatkan perkembangbiakan nyamuk, kelembaban mendorong pertumbuhan bakteri penyebab diare. Pengelola program kesehatan dalam hal ini dinas kesehatan harus memahami hal ini untuk mengantisipasi datangnya penyakit,” papar Umar.
Untuk itu Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan serta Ditjen P2M&PL membuat kelompok kerja yang melakukan kajian iklim dan kesehatan.
Umar menggagas perlunya memanfaatkan teknologi satelit -yang selama ini digunakan untuk memandu penanaman padi gogo rancah-untuk memprediksi penyakit dan faktor risiko kesehatan.
Menurut Umar, dinas kesehatan harus mampu mengidentifikasi jenis nyamuk yang ada di wilayah kerjanya. Misalnya jenis nyamuk malaria, apakah A sundaicus, A subpictus, A maculatus, atau A balabacensis. Pasalnya, tiap jenis nyamuk memiliki jam mencari makan berbeda. Ada yang mengisap darah menjelang pagi, sore, atau malam.
Hal ini menentukan pencegahan penularan penyakit. Sebagai gambaran di perbukitan Menoreh umumnya penduduk digigit nyamuk malaria saat nongkrong di luar rumah pada malam hari dengan bertelanjang dada karena udara daerah itu relatif panas. Sementara penduduk Pulau Bangka digigit nyamuk waktu menunggu tanaman lada di kebun.
Dalam kasus seperti ini pembagian kelambu tidak banyak gunanya. Barrier yang lebih tepat adalah penggunaan zat penolak serangga (mosquito repellent) serta mengubah perilaku penduduk agar mengenakan pakaian tertutup, sehingga nyamuk tak bisa menggigit.
Jika nyamuk yang ada di suatu wilayah adalah jenis nyamuk yang menggigit binatang dan manusia, untuk membentengi manusia dilakukan pemeliharaan hewan ternak di sekeliling rumah.
Kelembaban dan suhu juga mempengaruhi perilaku nyamuk. Suhu hangat dan lembab membuat nyamuk mudah berkembangbiak dan agresif mengisap darah. Hal itu bisa menjelaskan mengapa awal musim penghujan serta akhir musim penghujan menjelang musim kemarau merupakan waktu rawan terjadi KLB demam berdarah dengue.
“Hal-hal seperti harus diantisipasi sehingga bisa dilakukan tindak pencegahan yang diperlukan,” saran Umar. Pencegahan sejumlah penyakit menular juga bisa dilakukan dengan meningkatkan kekebalan tubuh manusia, yaitu melakukan imunisasi. Karenanya, cakupan imunisasi perlu ditingkatkan dan dijaga tetap tinggi. Hal ini membantu penduduk untuk tetap sehat dan produktif dan yang sering terjadi, kalau ada orang sakit berobat di rumah sakit tidak dilaporkan ke dinas kesehatan. Akibatnya, penyakit menular merebak tanpa diketahui pengelola program kesehatan. Dinas kesehatan baru kelabakan saat terjadi KLB.
Hal itu menunjukkan pentingnya manajemen P2M&PL terpadu berbasis wilayah. Model ini sedang dikembangkan Ditjen P2M&PL dan mulai dimasukkan dalam kurikulum pelatihan para kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Model yang dikembangkan bertujuan memperkuat program pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan di daerah secara komprehensif. Yakni berdasarkan data dan informasi tenaga epidemiologi daerah, kerja sama dengan mitra di luar kesehatan serta kerja sama antarwilayah.
Kapasitas dinas kesehatan dikembangkan agar mampu membuat jejaring kerja dengan stakeholders (para pihak) di wilayah kerjanya. Misalnya dengan rumah sakit dan instansi lain. Jika mendapat informasi pada awal keberadaan penyakit menular atau adanya faktor risiko kesehatan, dinas kesehatan bisa segera mengambil tindakan yang diperlukan.
Sumber daya manusia yang diperlukan dalam pemberantasan penyakit menular terutama ahli epidemiologi, entomologi, dan sanitarian. Dengan alasan itu pula Depkes mengusulkan perlunya dihidupkan kembali jabatan juru atau petugas lapangan untuk membantu tugas para ahli itu, setidaknya perlu satu petugas lapangan per desa untuk mencari kasus secara aktif, merujuk ke pemberi pelayanan kesehatan, mensupervisi perawatan di rumah. Selain itu mendeteksi faktor risiko kesehatan, misalnya pengawasan jentik nyamuk serta mengembangkan upaya perilaku hidup sehat pada masyarakat.
Upaya itu tentu memerlukan dedikasi para pelaksana serta kemauan politik pengambil keputusan di daerah termasuk pengalokasian anggaran yang memadai.
Sudah saatnya kesehatan masyarakat dipandang sebagai investasi pembangunan. Tanpa penduduk yang sehat dan mampu bekerja mustahil suatu daerah bisa membangun. (ATK)
Harian KOMPAS, 09 Maret 2003
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/09/iptek/171012.htm