Jumat, 07 September 2012

Peranan Kesehatan Masyarakat

Pahami Lingkungan Berantas Penyakit Menular


PEMBAGIAN kelambu tidak menjamin penurunan kasus malaria, pengasapan tidak mampu menekan kasus demam berdarah dengue. Buktinya, daerah yang mengalami kejadian luar biasa (KLB) malaria dan demam berdarah dengue makin meluas dengan kekerapan makin tinggi.
kalau penyakit menular diibaratkan musuh, untuk memenangi pertempuran perlu mengenali faktor yang terkait dengan musuh itu.
Menurut Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan (P2M&PL Depkes) Prof Dr dr Umar Fahmi Achmadi MPH yang juga guru besar ilmu kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, ada empat faktor yang berperan dalam dinamika transmisi penyakit menular. Yaitu sumber penyakit, vektor, barrier (penghalang) antara vektor dengan populasi yang berisiko serta kekebalan manusia.
Identifikasi, intervensi dan pengelolaan terhadap keempat faktor plus faktor kelima, yaitu perawatan penderita penyakit menjadi satu kesatuan simpul manajemen bisa meningkatkan upaya pemberantasan penyakit menular.
Hal ini menjadi tantangan bagi para pengelola program kesehatan di daerah (kabupaten/kota) di era desentralisasi.
Sumber penyakit atau penderita penyakit perlu segera ditemukan dan diobati sampai sembuh. Jika ini dilakukan, keberadaan vektor tidak akan berarti, karena tak ada sumber dari virus, bakteri ataupun parasit yang bisa ditularkan.
Namun, hal ini tidak mudah, mengingat mobilitas penduduk sangat tinggi ditunjang perkembangan sarana perhubungan dan transportasi. Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, khususnya dari daerah rawan penyakit menular ke daerah lain, menyebabkan daerah yang telah bebas dari penyakit terkena kembali. Hal itu terjadi pada wilayah Banyumas yang dinyatakan aman dari malaria sejak 15 tahun terakhir, tetapi kini terjangkit kembali.
Hal kedua, vektor dalam hal ini binatang yang menjadi perantara penularan misalnya nyamuk pada kasus malaria dan demam berdarah dengue perlu dicegah perkembangbiakannya.
Sebagaimana diungkapkan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR-RI akhir Februari lalu, aktivitas masyarakat berperan dalam meningkatkan perkembangbiakan nyamuk.
Contohnya, peningkatan kepadatan penduduk mendorong pembukaan hutan dan penghunian kawasan perbukitan seperti Bukit Menoreh di perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Purworejo, dan Magelang, Jawa Tengah. Akibatnya, di kawasan Menoreh banyak genangan air dan sungai kecil yang merupakan tempat perindukan nyamuk penular malaria, Anopheles balabacensis dan A maculatus.
Hal serupa terjadi akibat aktivitas masyarakat dan perusahaan yang kurang peduli lingkungan. Misalnya, genangan air pada bekas galian pasir di Pulau Batam dan Bintan menjadi tempat nyamuk berkembangbiak.
Tambak ikan atau udang yang ditinggalkan pemilik terutama saat krisis moneter seperti terjadi di Lampung, mengakibatkan populasi nyamuk A sundaicus dan A subpictus meningkat. Mereka tumbuh pesat di permukaan air tambak yang ditumbuhi lumut.
Untuk menekan perkembangbiakan nyamuk, seyogianya bekas galian ditimbun, tambak telantar ditanami ikan nila yang makan jentik nyamuk.
Menurut Umar, dalam perkembangan penyakit menular, ada beberapa variabel berpengaruh. Antara lain iklim, faktor politik, dan kondisi sosial ekonomi.
Faktor iklim, seperti musim penghujan, kemarau, La Nina, El Nino, dan sebagainya mempengaruhi pola penyakit.
“Air hujan meningkatkan perkembangbiakan nyamuk, kelembaban mendorong pertumbuhan bakteri penyebab diare. Pengelola program kesehatan dalam hal ini dinas kesehatan harus memahami hal ini untuk mengantisipasi datangnya penyakit,” papar Umar.
Untuk itu Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan serta Ditjen P2M&PL membuat kelompok kerja yang melakukan kajian iklim dan kesehatan.
Umar menggagas perlunya memanfaatkan teknologi satelit -yang selama ini digunakan untuk memandu penanaman padi gogo rancah-untuk memprediksi penyakit dan faktor risiko kesehatan.
Menurut Umar, dinas kesehatan harus mampu mengidentifikasi jenis nyamuk yang ada di wilayah kerjanya. Misalnya jenis nyamuk malaria, apakah A sundaicus, A subpictus, A maculatus, atau A balabacensis. Pasalnya, tiap jenis nyamuk memiliki jam mencari makan berbeda. Ada yang mengisap darah menjelang pagi, sore, atau malam.
Hal ini menentukan pencegahan penularan penyakit. Sebagai gambaran di perbukitan Menoreh umumnya penduduk digigit nyamuk malaria saat nongkrong di luar rumah pada malam hari dengan bertelanjang dada karena udara daerah itu relatif panas. Sementara penduduk Pulau Bangka digigit nyamuk waktu menunggu tanaman lada di kebun.
Dalam kasus seperti ini pembagian kelambu tidak banyak gunanya. Barrier yang lebih tepat adalah penggunaan zat penolak serangga (mosquito repellent) serta mengubah perilaku penduduk agar mengenakan pakaian tertutup, sehingga nyamuk tak bisa menggigit.
Jika nyamuk yang ada di suatu wilayah adalah jenis nyamuk yang menggigit binatang dan manusia, untuk membentengi manusia dilakukan pemeliharaan hewan ternak di sekeliling rumah.
Kelembaban dan suhu juga mempengaruhi perilaku nyamuk. Suhu hangat dan lembab membuat nyamuk mudah berkembangbiak dan agresif mengisap darah. Hal itu bisa menjelaskan mengapa awal musim penghujan serta akhir musim penghujan menjelang musim kemarau merupakan waktu rawan terjadi KLB demam berdarah dengue.
“Hal-hal seperti harus diantisipasi sehingga bisa dilakukan tindak pencegahan yang diperlukan,” saran Umar. Pencegahan sejumlah penyakit menular juga bisa dilakukan dengan meningkatkan kekebalan tubuh manusia, yaitu melakukan imunisasi. Karenanya, cakupan imunisasi perlu ditingkatkan dan dijaga tetap tinggi. Hal ini membantu penduduk untuk tetap sehat dan produktif dan yang sering terjadi, kalau ada orang sakit berobat di rumah sakit tidak dilaporkan ke dinas kesehatan. Akibatnya, penyakit menular merebak tanpa diketahui pengelola program kesehatan. Dinas kesehatan baru kelabakan saat terjadi KLB.
Hal itu menunjukkan pentingnya manajemen P2M&PL terpadu berbasis wilayah. Model ini sedang dikembangkan Ditjen P2M&PL dan mulai dimasukkan dalam kurikulum pelatihan para kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Model yang dikembangkan bertujuan memperkuat program pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan di daerah secara komprehensif. Yakni berdasarkan data dan informasi tenaga epidemiologi daerah, kerja sama dengan mitra di luar kesehatan serta kerja sama antarwilayah.
Kapasitas dinas kesehatan dikembangkan agar mampu membuat jejaring kerja dengan stakeholders (para pihak) di wilayah kerjanya. Misalnya dengan rumah sakit dan instansi lain. Jika mendapat informasi pada awal keberadaan penyakit menular atau adanya faktor risiko kesehatan, dinas kesehatan bisa segera mengambil tindakan yang diperlukan.
Sumber daya manusia yang diperlukan dalam pemberantasan penyakit menular terutama ahli epidemiologi, entomologi, dan sanitarian. Dengan alasan itu pula Depkes mengusulkan perlunya dihidupkan kembali jabatan juru atau petugas lapangan untuk membantu tugas para ahli itu, setidaknya perlu satu petugas lapangan per desa untuk mencari kasus secara aktif, merujuk ke pemberi pelayanan kesehatan, mensupervisi perawatan di rumah. Selain itu mendeteksi faktor risiko kesehatan, misalnya pengawasan jentik nyamuk serta mengembangkan upaya perilaku hidup sehat pada masyarakat.
Upaya itu tentu memerlukan dedikasi para pelaksana serta kemauan politik pengambil keputusan di daerah termasuk pengalokasian anggaran yang memadai.
Sudah saatnya kesehatan masyarakat dipandang sebagai investasi pembangunan. Tanpa penduduk yang sehat dan mampu bekerja mustahil suatu daerah bisa membangun. (ATK)
Harian KOMPAS, 09 Maret 2003
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/09/iptek/171012.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar