Pahami Lingkungan Berantas Penyakit Menular
PEMBAGIAN kelambu tidak menjamin penurunan kasus
malaria, pengasapan tidak mampu menekan kasus demam berdarah dengue.
Buktinya, daerah yang mengalami kejadian luar biasa (KLB) malaria dan
demam berdarah dengue makin meluas dengan kekerapan makin tinggi.
kalau penyakit menular diibaratkan musuh, untuk memenangi pertempuran perlu mengenali faktor yang terkait dengan musuh itu.
Menurut Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan (P2M&PL Depkes) Prof
Dr dr Umar Fahmi Achmadi MPH yang juga guru besar ilmu kesehatan
lingkungan dan kesehatan kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, ada empat faktor yang berperan dalam dinamika
transmisi penyakit menular. Yaitu sumber penyakit, vektor, barrier
(penghalang) antara vektor dengan populasi yang berisiko serta
kekebalan manusia.
Identifikasi, intervensi dan pengelolaan terhadap keempat faktor plus
faktor kelima, yaitu perawatan penderita penyakit menjadi satu kesatuan
simpul manajemen bisa meningkatkan upaya pemberantasan penyakit menular.
Hal ini menjadi tantangan bagi para pengelola program kesehatan di daerah (kabupaten/kota) di era desentralisasi.
Sumber penyakit atau penderita penyakit perlu segera
ditemukan dan diobati sampai sembuh. Jika ini dilakukan, keberadaan
vektor tidak akan berarti, karena tak ada sumber dari virus, bakteri
ataupun parasit yang bisa ditularkan.
Namun, hal ini tidak mudah, mengingat mobilitas
penduduk sangat tinggi ditunjang perkembangan sarana perhubungan dan
transportasi. Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain,
khususnya dari daerah rawan penyakit menular ke daerah lain,
menyebabkan daerah yang telah bebas dari penyakit terkena kembali. Hal
itu terjadi pada wilayah Banyumas yang dinyatakan aman dari malaria
sejak 15 tahun terakhir, tetapi kini terjangkit kembali.
Hal kedua, vektor dalam hal ini binatang yang
menjadi perantara penularan misalnya nyamuk pada kasus malaria dan
demam berdarah dengue perlu dicegah perkembangbiakannya.
Sebagaimana diungkapkan Menteri Kesehatan Achmad
Sujudi dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR-RI akhir Februari lalu,
aktivitas masyarakat berperan dalam meningkatkan perkembangbiakan
nyamuk.
Contohnya, peningkatan kepadatan penduduk mendorong
pembukaan hutan dan penghunian kawasan perbukitan seperti Bukit Menoreh
di perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Purworejo, dan Magelang, Jawa
Tengah. Akibatnya, di kawasan Menoreh banyak genangan air dan sungai
kecil yang merupakan tempat perindukan nyamuk penular malaria,
Anopheles balabacensis dan A maculatus.
Hal serupa terjadi akibat aktivitas masyarakat dan
perusahaan yang kurang peduli lingkungan. Misalnya, genangan air pada
bekas galian pasir di Pulau Batam dan Bintan menjadi tempat nyamuk
berkembangbiak.
Tambak ikan atau udang yang ditinggalkan pemilik
terutama saat krisis moneter seperti terjadi di Lampung, mengakibatkan
populasi nyamuk A sundaicus dan A subpictus meningkat. Mereka tumbuh
pesat di permukaan air tambak yang ditumbuhi lumut.
Untuk menekan perkembangbiakan nyamuk, seyogianya
bekas galian ditimbun, tambak telantar ditanami ikan nila yang makan
jentik nyamuk.
Menurut Umar, dalam perkembangan penyakit menular,
ada beberapa variabel berpengaruh. Antara lain iklim, faktor politik,
dan kondisi sosial ekonomi.
Faktor iklim, seperti musim penghujan, kemarau, La Nina, El Nino, dan sebagainya mempengaruhi pola penyakit.
“Air hujan meningkatkan perkembangbiakan nyamuk,
kelembaban mendorong pertumbuhan bakteri penyebab diare. Pengelola
program kesehatan dalam hal ini dinas kesehatan harus memahami hal ini
untuk mengantisipasi datangnya penyakit,” papar Umar.
Untuk itu Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan serta Ditjen P2M&PL membuat kelompok kerja yang melakukan
kajian iklim dan kesehatan.
Umar menggagas perlunya memanfaatkan teknologi
satelit -yang selama ini digunakan untuk memandu penanaman padi gogo
rancah-untuk memprediksi penyakit dan faktor risiko kesehatan.
Menurut Umar, dinas kesehatan harus mampu
mengidentifikasi jenis nyamuk yang ada di wilayah kerjanya. Misalnya
jenis nyamuk malaria, apakah A sundaicus, A subpictus, A maculatus,
atau A balabacensis. Pasalnya, tiap jenis nyamuk memiliki jam mencari
makan berbeda. Ada yang mengisap darah menjelang pagi, sore, atau malam.
Hal ini menentukan pencegahan penularan penyakit.
Sebagai gambaran di perbukitan Menoreh umumnya penduduk digigit nyamuk
malaria saat nongkrong di luar rumah pada malam hari dengan
bertelanjang dada karena udara daerah itu relatif panas. Sementara
penduduk Pulau Bangka digigit nyamuk waktu menunggu tanaman lada di
kebun.
Dalam kasus seperti ini pembagian kelambu tidak banyak gunanya. Barrier yang lebih tepat adalah penggunaan zat penolak serangga (mosquito repellent) serta mengubah perilaku penduduk agar mengenakan pakaian tertutup, sehingga nyamuk tak bisa menggigit.
Jika nyamuk yang ada di suatu wilayah adalah jenis
nyamuk yang menggigit binatang dan manusia, untuk membentengi manusia
dilakukan pemeliharaan hewan ternak di sekeliling rumah.
Kelembaban dan suhu juga mempengaruhi perilaku nyamuk. Suhu hangat dan
lembab membuat nyamuk mudah berkembangbiak dan agresif mengisap darah.
Hal itu bisa menjelaskan mengapa awal musim penghujan serta akhir musim
penghujan menjelang musim kemarau merupakan waktu rawan terjadi KLB
demam berdarah dengue.
“Hal-hal seperti harus diantisipasi sehingga bisa dilakukan tindak pencegahan yang diperlukan,” saran Umar. Pencegahan sejumlah penyakit menular juga bisa
dilakukan dengan meningkatkan kekebalan tubuh manusia, yaitu melakukan
imunisasi. Karenanya, cakupan imunisasi perlu ditingkatkan dan dijaga
tetap tinggi. Hal ini membantu penduduk untuk tetap sehat dan produktif dan yang sering terjadi, kalau ada orang sakit berobat
di rumah sakit tidak dilaporkan ke dinas kesehatan. Akibatnya, penyakit
menular merebak tanpa diketahui pengelola program kesehatan. Dinas
kesehatan baru kelabakan saat terjadi KLB.
Hal itu menunjukkan pentingnya manajemen P2M&PL
terpadu berbasis wilayah. Model ini sedang dikembangkan Ditjen
P2M&PL dan mulai dimasukkan dalam kurikulum pelatihan para kepala
dinas kesehatan kabupaten/kota.
Model yang dikembangkan bertujuan memperkuat program
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan di daerah
secara komprehensif. Yakni berdasarkan data dan informasi tenaga
epidemiologi daerah, kerja sama dengan mitra di luar kesehatan serta
kerja sama antarwilayah.
Kapasitas dinas kesehatan dikembangkan agar mampu
membuat jejaring kerja dengan stakeholders (para pihak) di wilayah
kerjanya. Misalnya dengan rumah sakit dan instansi lain. Jika mendapat
informasi pada awal keberadaan penyakit menular atau adanya faktor
risiko kesehatan, dinas kesehatan bisa segera mengambil tindakan yang
diperlukan.
Sumber daya manusia yang diperlukan dalam pemberantasan penyakit menular terutama ahli epidemiologi, entomologi, dan sanitarian. Dengan alasan itu pula Depkes mengusulkan perlunya
dihidupkan kembali jabatan juru atau petugas lapangan untuk membantu
tugas para ahli itu, setidaknya perlu satu petugas lapangan per desa
untuk mencari kasus secara aktif, merujuk ke pemberi pelayanan
kesehatan, mensupervisi perawatan di rumah. Selain itu mendeteksi
faktor risiko kesehatan, misalnya pengawasan jentik nyamuk serta
mengembangkan upaya perilaku hidup sehat pada masyarakat.
Upaya itu tentu memerlukan dedikasi para pelaksana
serta kemauan politik pengambil keputusan di daerah termasuk
pengalokasian anggaran yang memadai.
Sudah saatnya kesehatan masyarakat dipandang sebagai
investasi pembangunan. Tanpa penduduk yang sehat dan mampu bekerja
mustahil suatu daerah bisa membangun. (ATK)
Harian KOMPAS, 09 Maret 2003http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/09/iptek/171012.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar